Candi dieng merupakan sebuah
kompleks candi yang bersifat agama siwa, terletak di tanah datar tinggi dieng (dihyang) , dengan ketinggian
sekitar 2000 meter di atas permukaan laut,
berukuran 1800 meter panjang dan 800 meter lebar. Di sebelah utara terletak gunung
prahu dan dari arah gunung
ini mengalir sungai tulis ke arah selatan, masuk ke dataran
tinggi dieng dan dahulunya membentuk semacam danau dikenal dengan nama bale
kambang. Agar air tidak terlalu penuh terdapat saluran
berupa pipa yang disebut saluran aswatama. Menurut laporan, pipa air ini
sebagian ditemukan di dekat candi arjuna.
Candi-candi di kompleks dieng
sekarang berjumlah sekitar delapan buah candi kemungkinan berasal dari abad
viii-ix. Sebuah
prasasti ditemukan di dalam kompleks memiliki angka tahun 713 saka
sama dengan 809 masehi, namun terdapat kemungkinan candi-candi
tersebut ada yang lebih tua, dari sekitar pertengahan abad viii. Candi-candi di
dieng ini diberi nama wayang, yaitu candi arjuna, candi semar,
srikandi, puntadewa, sembadra, bima, dwarawati, gatotkaca. Melihat nama-namanya jelas
bukan nama tokoh mahabharata, melainkan tokoh wayang termasuk punakawan semar.
Hal ini berarti nama-nama tersebut bukan nama asli candi-candi dieng.
Kompleks dieng ini diperkirakan
candi saiwa tertua dari masa klasik tua, namun sebelum membicarakan candi
tersebut, akan disinggung sepintas lalu tentang kontak budaya awal
indonesia-india yang berdampak masuknya agama-agama yang berasal dari india ke
indonesia.
Seperti telah dikemukakan terdahulu, candi-candi di Dieng sekarang ada
delapan buah, walaupun terdapat kemungkinan dahulunya jumlah candi lebih dari
delapan. Empat buah candi berjejer di sebelah utara, yaitu candi Arjuna, candi
Srikandi, cabdi Puntadewa dan candi Sembodro, yang menghadap ke arah
barat. Berhadapan dengan candi Arjuna terdapat candi Semar, yang
berfungsi sebagai candi Perwara, menghadap ke timur. Sementara itu ada
pendapat bahwa candi Perwara pun terdapat di depan candi-candi Srikandi,
Puntadewa dan Sembodro, namun sekarang sudah tidak tersisa. Kelima
candi ini merupakan satu kelompok, karena terdapat sisa-sisa pagar yang
mengelilingi.
Di samping itu, di sebelah barat daya Bale Kambang, di kaki bukit
Panggonan terdapat candi Gatotkaca, candi Dwarawati di sebelah utara
dekat bukit Prahu, dan di ujung selatan terdapat candi Bima.
Secara sepintas, candi-candi tersebut mirip dengan kuil-kuil di India,
namun kalau kita perhatikan, sangat besar perbedaannya. Ciri-ciri umum
candi-candi di Dieng, berdenah bujur sangkar, mempunyai tiga bagian candi,
yaitu kaki-tubuh-atap. Perkecualian terdapat pada candi Semar, karena berdenah
empat persegi panjang, dan atap tidak menjulang seperti candi-candi lainnya,
melainkan berbentuk padma (sisi genta). Demikian pula di antara
candi-candi tersebut, candi Bima mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan
ketujuh candi lainnya, untuk lebih jelasnya akan di deskripsikan tiga buah
candi yaitu candi Arjuna, candi Semar dan candi Bima.
Candi Arjuna. Candi Arjuna dimasukkan ke dalam seni bangunan Dieng Baru, berdenah
bujur sangkar berukuran 6 meter x 6 meter, dengan pintu menghadap ke barat.
Candi didirikan di atas fondasi berupa tanah lembut semacam pasir
keputihan. Fondasi disini maksudnya pemadatan tanah di bawah candi, untuk
memperkuat tanah sebelum didirikan candi.Seperti lazimnya candi-candi Klasik
Tua, kaki candi dihias dengan perbingkaian, demikian pula bagian bawah tubuh
candi. Namun candi Arjuna dan candi-candi Dieng lainnya tidak memiliki
bingkai bulat (kumuda), hanya bingkai rata dan bingkai padma
(sisi genta). Dinding tubuh candi Arjuna dihias oleh 3 relung pada 3
sisinya yang sekarang telah kosong tidak ada arcanya. Bagian atas relung
masing-masing relung dihias dengan ragam hias kepala kala tanpa dagu, dan
dihubungkan dengan sepasang makara oleh bingkai relung. Pintu candi di
sebelah barat, dengan hiasan ragam hias kepala kala pula, dan dihubungkan oleh
bingkai pintu dan pipi tangga ke sepasang makara yang di hias oleh burung
kakaktua di mulutnya yang menganga.
Atap candi terdiri dari tiga lapis (bhumi), ukurannya
makin ke atas makin kecil dan di akhiri oleh puncak yang mungkin berbentuk buah
keben (ratna). Kemungkinan ini di ajukan setelah melihat
hiasan pada sudut2 lapisan atap berbentuk replika candi. Kepastian bentuk
tidak dapat diajukan, karena atap telah rusak. Puncak candi bukan stupika
(dagoba), karena candi Arjuna dan candi Dieng secara keseluruhan
bersifat agama Siwa, dan bukan bersifat agama Buddha. Bentuk atap candi Arjuna
mirip dengan atap candi gaya India Selatan (gaya Dravida).
Pada tahun 1924 seorang arkeolog Belanda pernah meneliti candi Arjuna,
dan menurut pendapatnya, ukuran dan bagian-bagian candi Arjuna jelas mengikuti
aturan Vastusastra. Namun bagaimana gaya candi-candi Dieng lainnya belum
ada laporan, kecuali candi Bima yang beratap gaya India Utara (gaya Arya).
Ragam hias sangat sederhana, atap candi dipenuhi dengan ragam hias
antefiks (simbar), dan hiasan Kala-makara pada pintu candi dan ketiga relung
pada badan candi. Bingkai pintu ini pada bagian bawah dihubungkan dengan
pipi tangga yang melengkung pada kiri kanan tangga masuk.
Ruangan tengah (garbhagrha) telah kosong, dahulunya
mungkin diisi arca Siwa yang mungkin sekarang disimpan di Museum Nasional
Jakarta. Yoni lapik arcanya sekarang masih ada di dalam ruangan.
Candi Semar. Di hadapan candi Arjuna berdiri sebuah candi yang berdenah empat
persegi panjang berukuran 7x3.50 meter, dengan pintu menghadap ke timur.
Seperti candi-candi lainnya, candi Semar memiliki kaki-tubuh dan
atap. Alas kaki candi dan alas tubuh candi dihias dengan perbingkaian
berupa bingkai padma (sisi genta) dan bingkai rata. Pintu dihias dengan kala-makara,
tubuh candi diberi bidang penghias yang kosong. Atap candi bentuknya
sangat unik, karena tidak berlapis seperti halnya candi Arjuna dan candi-candi
lainnya, namun hanya satu lapis melengkung ke atas, bentuknya seperti padma
yang besar. Puncak atap berbentu apa, sudah tidak diketahui karena telah
hilang.
Candi Semar ini berfungsi sebagai candi Perwara, atau candi
pengiring. Apa yang diletakkan di ruangan candi tidak jelas.
Apabila kita bandingkan dengan kompleks kuil di India, bangunan yang berhadapan
dengan bangunan utama, biasanya dipakai untuk menempatkan arca Nandi, vahana
(kendaraan) Siwa.
Pada candi-candi yang tergolong tua candi Perwara hanya satu.
Namun pada candi-candi yang lebih muda jumlah candi Perwara akan bertambah,
misalnya yang terdapat pada candi Sambisari ini, jumlah candi Perwara menjadi
tiga buah. Dari sisa2 candi Dieng, menurut J. Dumarcay,
dahulu candi Perwara, mungkin mirip candi Semar, juga terdapat di depan
candi-candi Sembadra, Puntadewa dan candi Srikandi.
Candi Bima. Di sebelah selatan dataran Dieng, dekat bukit Panggonan
terletak candi Bima.
Candi menghadap ke timur, denah hampir bujur sangkar dengan ukuran
4..43 x 4.93 meter, dengan bangunan penampil di pintu masuk. Seperti
candi-candi di Dieng lainnya, candi Bima mempunyai tiga bagian candi, Namun
perbedaan yang menyolok, atap candi Bima mengikuti gaya atap India Utara (gaya
Arya), lapisan-lapisan atap tidak terlihat, dan atap dihias dengan amalaka
(semacam bola pipih), pada bagian atas menara sudutnya, mungkin pula puncak
candi. Di samping hiasan amalaka, atap candi Bima di hias dengan
sederetan relung palsu dengan arca-arca kepala tokoh yang seolah-olah melihat
dari jendela. Relung-relung ini di India disebut ragam hias kudu
atau gavaksa.
Candi Bima mempunyai ciri-ciri arsitektural yang sangat berbeda dengan
candi-candi di Dieng lainnya. Candi Bima terpengaruh oleh ciri-ciri kuil
India Utara, sedangkan candi yang 6 (tidak termasuk candi Semar)
mengikuti gaya India Selatan. Namun kalau diamati dengan seksama,
candi-candi Dieng memperlihatkan variasi ciri-ciri dalam hal struktur candi
maupun ragam hiasnya. Hal ini berarti candi-candi dibuat oleh beberapa
orang silpin yang bertindak sebagai kepala arsitek candi (sthapati).
Kemungkinan besar para sthapati ini pernah belajar agama di India. Dari
bukti2 tertulis diketahui bahwa orang-orang Indonesia
pernah ada yang belajar agama di India. Mereka dibuatkan asrama
di Nalanda (Bengal) dan di Nagapatnam (India Selatan)
untuk tinggal selama disana.
Agama, baik agama Hindu maupun Buddha, sangat erat hubungannya dengan
kesenian khususnya seni bangunan, dan seni arca. Di India terdapat
beberapa pusat kesenian, misalnya di Mathura, India Utara, Nalanda pusat
agama Buddha di daerah Bengal, Amarawati India Selatan dan sebagainya.
Para sthapati tersebut selain belajar agama, juga mempelajari
kitab-kitab Vastu (Vastusastra), kemudian pergi mengunjungi
pusat-pusat kesenian di India. Kemudian mereka membuat replika bangunan
suci sesuai dengan apa yang diuraikan dalam Vastusastra, dengan apa yang
dilihat di pusat2 kesenian dan sudah tentu disesuaikan dengan dasar budayanya
sebagai orang Jawa, maka dibuatlah replika candi untuk dibawa pulang dijadikan
contoh membuat candi-candi di Jawa dan mungkin pula di tempat lain di
Nusantara. Apabila mereka (para silpin yang kemudian menjadi sthapati)
pulang hanya membawa replika contoh candi, maka dengan sendirinya bisa
dimengerti mengapa hingga saat ini kita tidak pernah menemukan Vastusastra di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar