Minggu, 15 Januari 2012

Candi Dieng

Candi dieng merupakan sebuah kompleks candi yang bersifat agama siwa, terletak di tanah datar tinggi dieng (dihyang) , dengan ketinggian  sekitar 2000 meter di atas permukaan laut,  berukuran 1800 meter panjang dan 800 meter lebar. Di sebelah utara terletak gunung prahu dan dari arah gunung ini mengalir sungai tulis ke arah selatan, masuk ke dataran tinggi dieng dan dahulunya membentuk semacam danau dikenal dengan nama bale kambang.  Agar air tidak terlalu penuh  terdapat saluran berupa pipa yang disebut saluran aswatama.  Menurut laporan, pipa air ini sebagian ditemukan di dekat candi arjuna.
Candi-candi di kompleks dieng sekarang berjumlah sekitar delapan buah candi  kemungkinan berasal dari abad viii-ix.  Sebuah prasasti ditemukan di dalam kompleks memiliki angka tahun 713 saka sama dengan 809 masehi, namun terdapat kemungkinan candi-candi tersebut ada yang lebih tua, dari sekitar pertengahan abad viii. Candi-candi di dieng ini diberi nama wayang, yaitu candi arjuna, candi semar, srikandi, puntadewa, sembadra, bima, dwarawati, gatotkaca Melihat nama-namanya jelas bukan nama tokoh mahabharata, melainkan tokoh wayang termasuk punakawan semar. Hal ini berarti nama-nama tersebut bukan nama asli candi-candi  dieng.
Kompleks dieng ini diperkirakan candi saiwa tertua dari masa klasik tua,  namun sebelum membicarakan candi tersebut, akan disinggung sepintas lalu tentang  kontak budaya awal indonesia-india yang berdampak masuknya agama-agama yang berasal dari india ke indonesia.
Seperti telah dikemukakan terdahulu, candi-candi di Dieng sekarang ada delapan buah, walaupun terdapat kemungkinan dahulunya jumlah candi lebih dari delapan. Empat buah candi berjejer di sebelah utara, yaitu candi Arjuna, candi Srikandi, cabdi Puntadewa dan candi Sembodro, yang menghadap ke arah barat.  Berhadapan dengan candi Arjuna terdapat candi Semar, yang berfungsi sebagai candi Perwara, menghadap ke timur.  Sementara itu ada pendapat bahwa candi Perwara pun terdapat di depan candi-candi Srikandi, Puntadewa dan Sembodro, namun sekarang sudah tidak tersisa. Kelima candi ini merupakan satu kelompok, karena terdapat sisa-sisa pagar yang mengelilingi.
Di samping itu, di sebelah barat daya Bale Kambang, di kaki bukit Panggonan terdapat candi Gatotkaca,  candi Dwarawati di sebelah utara dekat bukit Prahu, dan di ujung selatan terdapat candi Bima.
Secara sepintas, candi-candi tersebut mirip dengan kuil-kuil di India, namun kalau kita perhatikan, sangat besar perbedaannya.  Ciri-ciri umum candi-candi di Dieng, berdenah bujur sangkar, mempunyai tiga bagian candi, yaitu kaki-tubuh-atap. Perkecualian terdapat pada candi Semar, karena berdenah empat persegi panjang, dan atap tidak menjulang seperti candi-candi lainnya, melainkan berbentuk padma (sisi genta).  Demikian pula di antara candi-candi tersebut, candi Bima mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan ketujuh candi lainnya, untuk lebih jelasnya akan di deskripsikan tiga buah candi yaitu candi Arjuna,  candi Semar dan candi Bima.
Candi Arjuna. Candi Arjuna dimasukkan ke dalam seni bangunan Dieng Baru, berdenah bujur sangkar berukuran 6 meter x 6 meter, dengan pintu menghadap ke barat. Candi didirikan di atas fondasi berupa tanah lembut semacam pasir keputihan.  Fondasi disini maksudnya pemadatan tanah di bawah candi, untuk memperkuat tanah sebelum didirikan candi.Seperti lazimnya candi-candi Klasik Tua, kaki candi dihias dengan perbingkaian, demikian pula bagian bawah tubuh candi.  Namun candi Arjuna dan candi-candi Dieng lainnya tidak memiliki bingkai bulat (kumuda), hanya bingkai rata dan bingkai padma (sisi genta).  Dinding tubuh candi Arjuna dihias oleh 3 relung pada 3 sisinya yang sekarang telah kosong tidak ada arcanya.  Bagian atas relung masing-masing relung dihias dengan ragam hias kepala kala tanpa dagu, dan dihubungkan dengan sepasang makara oleh bingkai relung.  Pintu candi di sebelah barat, dengan hiasan ragam hias kepala kala pula, dan dihubungkan oleh bingkai pintu dan pipi tangga ke sepasang makara yang di hias oleh burung kakaktua di mulutnya yang menganga.
Atap candi terdiri dari tiga lapis (bhumi), ukurannya makin ke atas makin kecil dan di akhiri oleh puncak yang mungkin berbentuk buah keben (ratna).  Kemungkinan ini di ajukan setelah melihat hiasan pada sudut2 lapisan atap berbentuk replika candi.  Kepastian bentuk tidak dapat diajukan, karena atap telah rusak.  Puncak candi bukan stupika (dagoba), karena candi Arjuna dan candi Dieng secara keseluruhan bersifat agama Siwa, dan bukan bersifat agama Buddha. Bentuk atap candi Arjuna mirip dengan atap candi gaya India Selatan (gaya Dravida).
Pada tahun 1924 seorang arkeolog Belanda pernah meneliti candi Arjuna, dan menurut pendapatnya, ukuran dan bagian-bagian candi Arjuna jelas mengikuti aturan Vastusastra.  Namun bagaimana gaya candi-candi Dieng lainnya belum ada laporan, kecuali candi Bima yang beratap gaya India Utara (gaya Arya).
Ragam hias sangat sederhana, atap candi dipenuhi dengan ragam hias antefiks (simbar), dan hiasan Kala-makara pada pintu candi dan ketiga relung pada badan candi.  Bingkai pintu ini pada bagian bawah dihubungkan dengan pipi tangga yang melengkung pada kiri kanan tangga masuk.
Ruangan tengah (garbhagrha) telah kosong, dahulunya mungkin diisi arca Siwa yang mungkin sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta.  Yoni lapik arcanya sekarang masih ada di dalam ruangan.
Candi Semar. Di hadapan candi Arjuna berdiri sebuah candi yang berdenah empat persegi panjang berukuran 7x3.50 meter, dengan pintu menghadap ke timur. Seperti candi-candi lainnya, candi Semar memiliki kaki-tubuh dan atap.  Alas kaki candi dan alas tubuh candi dihias dengan perbingkaian berupa bingkai padma (sisi genta) dan bingkai rata. Pintu dihias dengan kala-makara, tubuh candi diberi bidang penghias yang kosong.  Atap candi bentuknya sangat unik, karena tidak berlapis seperti halnya candi Arjuna dan candi-candi lainnya, namun hanya satu lapis melengkung ke atas, bentuknya seperti padma yang besar. Puncak atap berbentu apa, sudah tidak diketahui karena telah hilang.
Candi Semar ini berfungsi sebagai candi Perwara, atau candi pengiring.  Apa yang diletakkan di ruangan candi tidak jelas.  Apabila kita bandingkan dengan kompleks kuil di India, bangunan yang berhadapan dengan bangunan utama, biasanya dipakai untuk menempatkan arca Nandi, vahana (kendaraan) Siwa.
Pada candi-candi yang tergolong tua candi Perwara hanya satu.  Namun pada candi-candi yang lebih muda jumlah candi Perwara akan bertambah, misalnya yang terdapat pada candi Sambisari ini, jumlah candi Perwara menjadi tiga buah. Dari sisa2 candi Dieng, menurut J. Dumarcay,  dahulu candi Perwara, mungkin mirip candi Semar, juga terdapat di depan candi-candi Sembadra, Puntadewa dan candi Srikandi.
Candi Bima. Di sebelah selatan dataran Dieng, dekat bukit Panggonan terletak candi Bima.

Candi Bima
Candi menghadap ke timur, denah hampir bujur sangkar dengan ukuran 4..43 x 4.93 meter, dengan bangunan penampil di pintu masuk.  Seperti candi-candi di Dieng lainnya, candi Bima mempunyai tiga bagian candi, Namun perbedaan yang menyolok, atap candi Bima mengikuti gaya atap India Utara (gaya Arya), lapisan-lapisan atap tidak terlihat, dan atap dihias dengan amalaka (semacam bola pipih), pada bagian atas menara sudutnya, mungkin pula puncak candi.  Di samping hiasan amalaka, atap candi Bima di hias dengan sederetan relung palsu dengan arca-arca kepala tokoh yang seolah-olah melihat dari jendela.  Relung-relung ini di India disebut ragam hias kudu atau gavaksa.
Candi Bima mempunyai ciri-ciri arsitektural yang sangat berbeda dengan candi-candi di Dieng lainnya.  Candi Bima terpengaruh oleh ciri-ciri kuil India Utara, sedangkan candi yang 6 (tidak termasuk candi Semar) mengikuti  gaya India Selatan.  Namun kalau diamati dengan seksama, candi-candi Dieng memperlihatkan variasi ciri-ciri dalam hal struktur candi maupun ragam hiasnya.  Hal ini berarti candi-candi dibuat oleh beberapa orang silpin yang bertindak sebagai kepala arsitek candi (sthapati). Kemungkinan besar para sthapati ini pernah belajar agama di India. Dari  bukti2 tertulis diketahui bahwa orang-orang Indonesia pernah ada yang belajar agama di India.  Mereka dibuatkan asrama di Nalanda (Bengal) dan di Nagapatnam (India Selatan) untuk tinggal selama disana.
Agama, baik agama Hindu maupun Buddha, sangat erat hubungannya dengan kesenian khususnya seni bangunan, dan seni arca.  Di India terdapat beberapa pusat kesenian, misalnya di Mathura, India Utara,  Nalanda pusat agama Buddha di daerah Bengal, Amarawati India Selatan dan sebagainya.  Para sthapati tersebut selain belajar agama, juga mempelajari kitab-kitab Vastu (Vastusastra), kemudian pergi mengunjungi pusat-pusat kesenian di India.  Kemudian mereka membuat replika bangunan suci sesuai dengan apa yang diuraikan dalam Vastusastra, dengan apa yang dilihat di pusat2 kesenian dan sudah tentu disesuaikan dengan dasar budayanya sebagai orang Jawa, maka dibuatlah replika candi untuk dibawa pulang dijadikan contoh membuat candi-candi di Jawa dan mungkin pula di tempat lain di Nusantara.  Apabila mereka (para silpin yang kemudian menjadi sthapati) pulang hanya membawa replika contoh candi, maka dengan sendirinya bisa dimengerti mengapa hingga saat ini kita tidak pernah menemukan Vastusastra di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar